Jakarta Dan Keluh-kesahnya

Sore di perempatan jalan. 

Jakarta memang makin sesak. Orang-orang sibuk berlalu-lalang. Semua kendaraan sibuk memamerkan kecepatan. Serta penghibur lampu jalan yang selalu sedia ditiap keramaian. 

Makin pengap, sesak, dan juga makin kekurangan sekat.

Benar apa kata orang-orang. 
Jakarta memang mulai harus ditinggalkan. 
Atau setidaknya, diberikan ruang lebih bagi tiap-tiap insan yang sibuk mencari makan. 
Tapi, bagaimana bisa diberi ruang? Jika keserakahan dalam mencari uang masih saja didiamkan. Dipelihara bahkan kadang dibenarkan. 

Akh! Ngudemel apa sih saya ini sore-sore begini. Saya bayar kopi yang tadi dipesan dan beberapa gorengan ke pemilik warung, lalu bergegas pulang. 

Memulai dan mengakhiri hari dengan keadaan sesak seperti ini memang memuakkan. 
Beruntung ada hari sabtu dan minggu tertera di kalender. Setidak-tidaknya, ada sedikit lenggang untuk menjauh dari keramian. 
Biarpun hanya dihabiskan di dalam kosan, atau sekedar bercumbu dengan pasangan. 
Setidaknya, cukuplah untuk mengusir kejenuhan.
 
Seperti di Minggu pagi ini, misalnya. 
Duduk sendirian ditemani secangkir kopi dan sedikit rintik hujan. Membuat saya rindu akan keadaan kampung halaman. 
Suasana yang menenangkan, jauh dari hingar bingar bisingnya kendaraan, ataupun suara klakson yang sibuk mencari jalan. Kampung halaman memang akan selalu menjadi tujuan rehat di kala seisi kepala yang mulai penuh akan segala tuntutan. 

Hidup dengan ekspektasi dari orang lain memang tidak pernah menyenangkan. Enggak sehat dan enggak akan ada habisnya. 
Selalu ada saja tuntutan dari kiri-kanan yang sibuk meminta perhatian. Masing-masing, inginnya didahulukan. Sampai kadang saya rasanya ingin bertanya, "apa kalian lupa, kalau saya juga punya angan?".

Namun begitu, tetap saja saya kejar. 
Tetap saja saya lakukan demi menyenangkan jiwa-jiwa yang haus akan pujaan. 
Toh, hidup bersosial memang rumusnya begitu kan? 

Comments

POPULER OF THIS MONTH