Kamu -- Dan Semua Yang Kukira Nyata
Selalu ada enyuh yang mampir
ketika sapamu tidak sengaja hadir. Membuka halaman lama, yang kukira akan jadi selamanya.
Seperti pagi tadi, salah satunya.
Pagi-pagi sekali kau sudah sedia bertengger di depan gerbang. Menungguku sembari membawakan prakarya dari tugas minggu lalu. "Lama banget sih?! kebiasaan banget ditungguin bukannya buru-buru!!".
gerutumu dari kejauhan.
Iya.
Kita memang masih tetap menjaga setelah memutuskan berjalan berlainan arah.
"Aku tidak ingin kehilangan teman bercerita" Katamu, sambil terisak menggenggam hoodie berwarna abu-abu. Dan lagi pula, masih banyak sekali renjana yang ingin kita lakukan sebelum kita memutuskan untuk berpisah. Siapa juga yang akan menduga, bahwa kita akan begini pada akhirnya? kita yang selalu terlihat baik-baik saja, ternyata selama ini hanya sedang berpura-pura.
Sebelumnya kukira, segala rasa yang tersisa akan mati juga pada akhirnya. Segala ikrar yang terlanjur terucap akan usang.
Ternyata tidak.
Rasa ini kekal.
Entah sejak kapan, atau dimulai sedari kapan? Entah lah.
Pada kenyataannya, rasa ini bukannya memudar
malah makin bertambah hebat.
Melihatmu mampu berbahagia ternyata tidaklah sesederhana imajiku. Kukira benar apa kata para penyair di luaran sana, bahwa ketika orang yang kita cintai mampu berbahagia, kita juga akan merasakannya meski tidak lagi bersama.
Buatku, tidak bisa sesederhana itu.
Untuk menerima kenyataan bahwa kini kau mulai nyaman bersandar di bahu yang lain saja, aku belum mampu menerima. Apalagi dipaksa mendengarkan cerita romansamu di tiap masa? Akh! sudahlah. Aku tidak lagi ingin berpura-pura.
Agaknya, aku memang mulai harus
berdamai dengan realita. Mulai harus
belajar menerima, bahwa kita tidak lagi ada.
Comments
Post a Comment